Jumat, 11 Mei 2012

BUKU: CERITA CINTA ENRICO

http://ulas-buku.blogspot.com/2012/02/kompleksitas-laki-laki-di-mata.html
Resensi oleh: NIGAR PANDRIANTO 
( http://www.blogger.com/profile/00598354469878561261)
Judul: Cerita Cinta Enrico
Penulis: Ayu Utami
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia


Terbit: Februari, 2012
Harga: Rp. 42.000


Alam pikiran setiap individu sangat kompeks. Namun kompleksitas tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya. Selalu ada dinamika eksternal yang ikut membantuknya. Lingkungan keluarga, pendidikan, perjumpaan dengan nilai-nilai religi, serta ragam peristiwa yang dicerap secara inderawi, adalah faktor yang ikut memberikan sumbangan terhadap kompleksitas tersebut.
Novel ini memang bukan novel psikologis. Namun plot yang ada memperlihatkan bahwa latar belakang seorang individu sangat memengaruhi alam pikiran, orientasi serta cara orang tersebut merespon lingkungannya.
Tokoh dalam novel ini, Enrico, adalah seorang individu yang mengagumi sosok sang ibu. Ia percaya bahwa ibunya memiliki kelebihan dari wanita kebanyakan di jamannya. Di matanya sang ibu memiliki citra yang modern, cantik, modis, dan memiiki wawasan yang patut untuk dibanggakan.
Namun citra itu perlahan memudar. Pertama karena sang ibu menganut sekte Saksi Yehova. Anggota sekte ini yang memercayai kiamat yang kian dekat, dan pengingkaran terhadap berbagai jenis kesenangan dunia. Hal ini berbeda dengan ajaran yang ia terima dari sang ibu sebelumnya.
Hal-hal inilah yang kemudian menyisakan berbagai perenungan dan pertanyaan bagi Enrico. Pergulatan serta konflik batin harus terjadi pada masa remajanya. Hal ini kemudian melahirkan sebuah pemberontakan pada diri Enrico.
Pemberontakan yang pertama-tama muncul dalam diri Enrico adalah tidak mengikuti ajaran baru ibunya. Meskipun sang ibu acap kali mengajak Enrico mengikuti perkumpulan tersebut, namun pada akhirnya Enrico memutuskan untuk tidak mengikuit ajaran tersebut.
Pemberontakan berikutnya ini terlihat dari cara ia memilih sekolah. Ia tidak mau melanjutkan kuliah di kota kelahirannya, melainkan di Kota Bandung untuk belajar teknik. Hal ini membuat gusar hati sang ibu, sebab ia menginginkan Enrico menuruti kata-katanya.
Pemberontakan berikutnya terjadi saat memutuskan untuk memutuskan untuk menjadi seorang fotografer. Secara umum hal ini memang aneh, seorang yang belajar teknik di perguruan tinggi, namun memutuskan untuk menjadi fotografer.
Hal sama terjadi dengan kehidupan percintaan Enrico. Ia memang kerap mencintai perempuan. Namun ia tidak mencari istri, hanya mencari seseorang yang dapat mengerti dirinya. Belakangan diketahui, sosok yang ia ingin cari dalam hidupnya adalah perempuan yang dapat menggantikan sosok sang ibu.
Pada bagian ini Ayu Utami ingin memperlihatkan bahwa pengaruh perempuan dalam kehidupan laki-laki sangat besar. Dengan kata lain, di balik seorang lelaki selalu ada sentuhan atau “hasil polesan” sosok perempuan.
Selain itu, Enrico yang selintas tampak seperti laki-laki yang memiliki kehendak bebas dan memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa yang ia inginkan, di sisi lain ia juga seorang yang memiliki ketergantungan pada perempuan. Ini merupakan sebuah ironi. Dengan kata lain, kemerdekaan laki-laki justru merupakan sebuah paradoks.
Lewat novel ini Ayu Utami seperti ingin menggugat superioritas laki-laki. Baginya superioritas tersebut tidak lain merupakan imajinasi kultural, yang harus terus-menerus dipertanyakan dan dibongkar.***


Catatan:
Tulisan ini telah dibajak oleh seseorang hingga termuat di sebuah harian terkemuka di Jakarta. Cek: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/89046